Soal  

Etika Berbusana Saat Kepura 2024

Etika Berbusana Saat Kepura 2024
Ni Nyoman Sekaryanti, Wakil Bendahara PC KMHDI Gorontalo

Didalam kehidupan beragama khususnya Agama Hindu yang memiliki pemahaman konsep tiologi hindu yang bersumber dari kitab suci veda dan kitab suci panaturan karena kitab suci sebagai pedoman   dalam memperkuat keimanan tentang pengetahuan Ketuhanan. Yakin akan adanya Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, ketiga dasar tersebut terdiri dari Tattwa (Filsafat), Etika (Susila), dan Ritual (Upacara). Tattwa adalah suatu pandangan manusia terhadap dunia secara keseluruhan, Susila yaitu Etika dalam bersosial, dan upacara merupakan yadnya atau tentang korban suci, (Mustawan, 2022). Tri Kerangka Dasar dijalankan secara bersamaan, sehingga tidak ada bagian yang mendominasi, dengan demikian kehidupan dapat berjalan secara tentram dan damai.

Setiap tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari Etika. Seperti ketika bergaul, berkomunikasi, dan bertingkah laku, (Pidarta, 2000). Etika tidak hanya berlaku pada pelaksanaan upacara atau prilaku sehari-hari dalam kehidupan , namun juga berlaku dalam aspek lain seperti cara berpakaian, cara menerima tamu atau hal-hal lainya.

Etika dalam berpakaian atau berbusana adat Bali telah diatur secara khusus, sehingga akan berbeda antara pakaian untuk sehari-hari, pakaian adat dan pakaian untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan. Penggunaan pakaian yang beretika dimaksudkan karena persembahyangan ke Pura merupakan pemujaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pemujaan itu dilaksanakan dalam bentuk material, dalam bentuk kata-kata, dan ada dalam bentuk pikiran. Beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi yaitu bersih secara lahir dan bathin (sekala wahya dan niskala adyatmika).

Penggunaan pakean dalam persembahyangan ke pura diberikan kebebasan, baik pakaian adat maupun pakaian dinas. Misalnya, bagi militer dapat saja sembahyang memakai pakaian dinas militer, apalagi pada saat tengah berdinas di kantornya.

Belakangan ini tampak bahwa Etika berbusana ke pura agak terganggu dengan munculnya mode kebaya yang tipis dan transparan sehingga warna kulit dan lekuk tubuh si pemakai kelihatan dengan jelas. Tentunya pemandangan seperti ini tidak patut ditampilkan di pura, pada saat dibutuhkan kesucian pikiran dalam melakukan persembahyangan kepada yang maha suci. Etika dalam hal ini mempunyai peranan sangat penting untuk menjaga kesopanan dalam berpakaian atau berbusana.

Semakin beragamnya bahan yang tersedia baik corak, warna maupun jenis mempengaruhi keberadaan busana sembahyang. menjadi mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kreativitas yang dimiliki sehingga terjadi perubahan-perubahan dalam penggunaan busana sembahyang ke pura. Masyarakat berlomba-lomba agar tidak ketinggalan untuk mengikuti trend yang ada. Dengan bahan kebaya yang semakin bagus, baik kualitas maupun coraknya, membuat wanita tampak semakin cantik dan mempesona.

Namun penggunaan pakaian atau busana oleh wanita tidak didesign sedemikian rupa agar tampak lebih sopan (tidak terlalu seksi) bila dipakai untuk ke pura (sembahyang). Oleh kebanyakan generasi muda khususnya wanita bahan kebaya yang transparan tidak diberi lapisan dalam sehingga kulit akan tampak secara transparan. Tidak hanya di kalangan anak muda, orang tua pun tidak mau ketinggalan untuk terlihat wah saat kepura, banyak orng kepura hanya ingin memamerkan barang yang dia gunakan. Seperti, aksesori emas, kebaya terbaru, kamen terbaru bahkan tidak lupa dengan dulang yang dia bawa.

Sebernya tujuan kita kepura adalah untuk menghubungkan diri dengan sang pencipta beserta segala manifestasinya. Dalam kitab niti sataka disebutkan :

Keyurani na bhusayanti purusam harah na candrojjvalah, na snanam na vilepanam na kusumam nalam krtah murdhaja, vanyeka samalankaroti purusam ya sanskrta dharyate, ksiyante khalu bhusanani satatam vag bhusanam bhusanam, (Niti Sataka :15).

Artinya : Bukan karena kilauan gelang atau kalung permata, bukan karena kemewahan pakaian, bukan karena bau yang wangi, bukan pula karena bunga yang harum, melainkan karena ucapan halus dan baiklah yang membuat kecantikan seorang wanita. Semua busana yang lain akan sirna, karena ucapan yang baik dan benar adalah perhiasan yang sesungguhnya, (Somvir, 2003).

Busana Persembahyangan Adat Bali

Secara umum Busana persembahyangan ke pura pada terdapat perbedaan antara persembahyangan pada hari-hari besar/hari raya dan persembahyangan sehari-hari. Busana adat ke pura, dibagi lagi jenisnya menjadi 3 bagian, yaitu :

  1. Tata busana ngayah menjelang upacara.
  2. Tata busana ngayah saat upacara dan persembahyangan, seperti tata busana ngayah mamundut, memendet, ngerejang dan megambel, serta tata busana persembahyangan.
  3. Tata busana ngayah setelah upacara, seperti mebersih-bersih atau metamped tamped, (Wahyuni et al., 2021).
  4. Busana adat menyambut tamu/pembawa acara upacara resmi

Pelaksanaan persembahyangan tidak hanya di lakukan pada hari raya namun juga hari lain bahkan sesuai ajaran agama dilakukan tiga kali persembahyangan dalam sehari, dan dilakukan setiap hari. Oleh karena itu pelaksanaan persembahyangan hari-hari biasa tidak ada kewajiban menggunakan pakaian adat, sehingga dapat menggunakan pakaian sehari-hari dengan tetap memperhatikan etika dan sopan santun. Karna tujuan sembahyang untuk mendekatkan diri pada sang pencipta.

Busana Persembahyangan Hari Raya (Rerainan)

            Persembahyangan dalam perayaan hari raya atau hari besar agama Hindu seperti Purnama, Tilem, Galungan, kuningan, nyepi, siwalatri, saraswati dan hari besar lainya diwajibkan untuk mengunakan pakean adat. Tata busana persembahyangan untuk ke pura dibagi menjadi dua yaitu tata busana untuk wanita dan untuk pria. Sesungguhnya Busana Sembahyang itu harus sesuai dengan konsep Tri Angga yaitu busana/pakaian pada Dewa Angga (kepala), busana/pakaian Manusa Angga (badan), dan Busana/pakaian Bhuta Angga (dari pinggang ke bawah), (Putra et al., 2018).

Pada laki-laki biasanya di Manusa Angga(bagian badan) mengunakan baju safari, Bhutama Angga(bagian pinggang) ke bawah mengunakan kamben Sesaput, sandal atau sepatu. dan untuk bagian kepala(Dewa Angga) biasanya memakai udeng. Udeng yaitu pengikat kepala pria pada pakaian adat Hindu Bali, yang memiliki makna pengikat pikiran terhadap objek duniawi sehingga pikiran seseorang diharap menuju arah vertikal yaitu menuju Swah Loka yaitu alamnya Tuhan Yang Maha Esa. Dan Perhiasan (sesuai kemampuan).

sementara Pada wanita di Manusa Angga(bagian badan) mengunakan kebaya lengkap dengan senteng (selendang) yang mengikat pinggang. Baju kebaya yang digunakan tidak harus berwarna putih atau kuning. Asalkan warnanya tidak mencolok, terlalu ketat atau longgar. Bhutama Angga(bagian pinggang) ke bawah hanya mengunakan kamben, serta rambutnya di Pusung tagel dan Pusung gonjer, dan apabila memungkinkan dengan menambahkan bunga cempaka di bagian atasnya. Rambut dipusungin atau diikat dengan rapi agar tidak mengganggu konsentrasi seseorang pada waktu melaksanakan persembahyangan. Dan Perhiasan cincin, kalung, gelang tangan (sesuai dengan kemampuan).

Busana Persembahyangan Sehari-hari

            Persembahyangan yang dilaksanakan pada hari selain hari raya umat Hindu biasanya tidak mewajibkan dalam penggunaan pakaian adat. Oleh karena itu pakaian yang digunakan disesuaikan dengan tetap memperhatikan etika penggunaannya. Hal ini dikarenakan pelaksanaan persembahyangan tidak dilakukan secara bersama-sama, namun tersendiri dan dilakukan secara mandiri.

Walau demikian di beberapa tempat seperti di kota-kota besar pelaksanaan persembahyangan setiap hari dilaksanakan secara bersama-sama dan terdapat pinandita/pemangku yang melayani persembahyangan umat. Ada beberapa sekolah juga melalukan persembahyangan bersama-sama dipadme yang biasanya dipimpin oleh guru agama disana.

Penggunaan busana dalam persembahyangan sehari-hari yang diwajibkan hanya diwajibkan pada bagian Manusa dan Bhuta saja. Sehingga dalam pelaksanaanya dibolehkan untuk tidak menggunakan destar atau udeng, namun tetap menggunakan baju dan celana/kamen yang rapi. . Hal ini diberikan karena pada hari-hari biasa beberapa umat selalu menyempatkan diri untuk singgah di pura untuk melakukan persembahyangan kemudian baru melanjutkan aktifitas lainnya. Busana pakaian yang digunakan sehari-hari wajib menggunakan selendang.

Pura di kota besar contohnya digorontalo sudah menyediakan tirta pembersihan yang dapat digunakan oleh umat sebelum memasuki areal suci. Tirta tersebut disediakan dan diperciki sendiri oleh yang bersangkutan, hal ini dilakukan guna tetap menjaga kesucian areal suci pura dan terhindar dari kekotoran atau leteh.

Trend busana persembahyangan secara agama Hindu juga tidak terlepas dari pengaruh  perkembangan teknologi.  Model-model busana sembahyang bermunculan begitu banyak dan tidak jarang terdapat yang tidak sesuai dengan etika ketika dipakai saat melakukan  persembahyangan. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman etika yang baik dan benar untuk dapat berbusana sembahyang yang baik dan benar sesuai dengan etika yang yang berlaku.

Sebagai kader saya mengharapkan semoga kedepannya seluruh masyarakat dan  anak muda hindu bisa belajar menggunakan busana ke pura dengan baik dan sesuai ajaran-ajaran agama hindu. Mengigat zaman sekarang banyak model-model kebaya yang tidak sesuai dengan ajaran kita, seperti yang kita ketahui baru-baru ini beredar kebaya model korea yang membuat kita lupa akan jenis kebaya yang sudah di atur agama hindu.

Saya sebagai anak muda hindu mengharapkan kedepannya masyarakat dan anak muda hindu lainnya agar tidak terpengaruh dengan gaya berpakaian  yang kurang pantas untuk digunakan. Semoga kita dapat memilih pakaian yang mencerminkan nilai-nilai positif dan menunjukan rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

Santika, Ni Wayan Ramini. “Pemahaman Konsep Teologi Hindu (Perspektif Agama Hindu).” Bawi Ayah: Jurnal Agama dan Hindu 8.1 (2017): 87-97.

Suksma, I. G. W., & Widana, I. G. K. (2021). Degradasi Etika Busana Sembahyang Umat Hindu di Pura Agung Jagatnatha Denpasar. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan, 21(1), 90-97.

Sariyani, N. N. (2019). Pakaian Adat Ke Pura Pada Generasi Remaja Hindu Di Desa Sari Mekar (Perspektif Sosial, Dan Religius). Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, 2(2), 26-36.

Sariyani, N. N. (2019). Pakaian Adat Ke Pura Pada Generasi Remaja Hindu Di Desa Sari Mekar (Perspektif Sosial, Budaya Dan Religius). Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, 2(2), 26-36.